Universitas Sumatera Utara (USU) kembali menjadi sorotan nasional, bukan karena capaian akademik, melainkan karena kisruh tata kelola yang menodai citra perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH). Forum Penyelamat USU (FP-USU) memandang rencana pelaksanaan rapat Majelis Wali Amanat (MWA) pada tanggal 18 Nopember 2025 di gedung Kementerian Imigrasi bukan hanya anomali prosedural, tetapi juga patut diduga cacat etika dan hukum.
Rapat pemilihan rektor di luar domain kampus menimbulkan kesan kuat bahwa proses strategis universitas berlangsung di bawah bayang-bayang birokrasi eksternal. Di mata publik, langkah ini menegaskan betapa lemahnya independensi kampus ketika ruang akademik digantikan oleh ruang kekuasaan.
Padahal, surat resmi dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikti Saintek) dengan nomor 2354/A/HM.00.00/2025 tertanggal 30 September 2025 secara eksplisit meminta penundaan rapat MWA. Surat yang ditandatangani Sekretaris Jenderal Togar Mangihut Simatupang itu diabaikan tanpa alasan sah. Sebuah tindakan yang tidak hanya melanggar administrasi, melainkan juga bentuk pembangkangan terhadap otoritas negara.
Pengabaian perintah resmi kementerian menunjukkan bahwa sebagian elit kampus lebih tunduk pada kepentingan kekuasaan ketimbang kepatuhan pada norma hukum. Inilah potret buram universitas negeri ketika nilai otonomi akademik dirusak oleh arogansi jabatan.
Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa forum tertinggi universitas negeri harus menyelenggarakan rapat pemilihan rektor di gedung kementerian yang tak memiliki hubungan organik dengan USU? Dalam prinsip good university governance, forum strategis seperti ini semestinya berlangsung di lingkungan universitas atau tempat netral yang bebas dari kesan subordinasi struktural.
Statuta USU dengan tegas menempatkan MWA sebagai organ pengambil kebijakan non-akademik tertinggi yang harus menjunjung tinggi independensi. Dengan memilih lokasi di kantor kementerian, MWA secara simbolik menyerahkan sebagian martabat otonominya kepada kekuasaan eksternal.
Lebih jauh, pelanggaran ini mengancam amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menegaskan otonomi perguruan tinggi sebagai fondasi kebebasan akademik. USU bukan instansi pemerintah, tetapi lembaga keilmuan yang wajib merdeka dari intervensi politik dan birokrasi.
Kebebasan akademik bukan slogan kosong. Ia merupakan jantung moral universitas dan benteng bagi masyarakat ilmiah untuk berpikir bebas tanpa tekanan kekuasaan. Rapat di gedung kementerian justru mengirim pesan bahwa kampus tunduk, bukan berdiri tegak.
FP-USU menilai, rapat tersebut mengaburkan batas antara otoritas akademik dan kekuasaan administratif negara. Padahal, cita-cita reformasi pendidikan tinggi adalah memastikan kampus menjadi lembaga otonom yang berpihak pada ilmu, bukan kekuasaan.
Dari sisi prosedural, FP-USU mempertanyakan apakah seluruh anggota MWA memperoleh akses dan hak partisipasi yang setara. Prinsip transparansi tak hanya diukur dari hasil, tetapi juga proses yang terbuka dan dapat diuji publik.
Ketiadaan publikasi resmi—mulai dari undangan, risalah, hingga keputusan rapat—memunculkan tanda tanya besar atas legitimasi forum tersebut. Tanpa keterbukaan, keputusan strategis universitas akan terjerumus menjadi praktik elitis yang tertutup dari kontrol sosial.
FP-USU juga menemukan indikasi pembatasan partisipasi bagi pihak-pihak yang memiliki hak hadir. Pemilihan lokasi di luar kampus bukan sekadar teknis, melainkan strategi yang menimbulkan hambatan psikologis dan administratif bagi para pemangku kepentingan internal.
Dalam tata kelola publik, keterbukaan adalah benteng terakhir melawan manipulasi. Tanpa itu, setiap proses demokratis kehilangan maknanya dan berubah menjadi ritual kekuasaan.
Lebih ironis lagi, hingga kini Rektor USU, Muryanto Amin, belum mengklarifikasi pemberitaan Tempo.co (26 Agustus 2025) yang mengaitkan namanya dalam lingkaran kasus korupsi proyek jalan di Tapanuli Selatan bersama Topan O Ginting dan Gubernur Sumut Bobby Nasution. Keheningan rektorat dalam menghadapi isu serius ini meruntuhkan kredibilitas moral seorang pemimpin akademik.
Dalam tradisi universitas yang sehat, rektor adalah teladan integritas. Ia wajib menjawab tudingan publik dengan transparansi, bukan bersembunyi di balik diam. Ketertutupan hanya memperdalam krisis kepercayaan terhadap kepemimpinan kampus.
Pemilihan Rektor USU periode 2026–2031 yang semestinya menjadi ajang meritokrasi, kini berubah menjadi simbol kegagalan tata kelola. Peristiwa pemotretan surat suara oleh anggota Senat Akademik, Prof. Mohammad Basyuni, menjadi puncak pelanggaran etika akademik yang mencoreng prinsip secrecy of ballot.
Insiden itu bukan kasus tunggal. FP-USU menemukan indikasi kuat adanya praktik arah-mengarahkan pilihan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Bukti percakapan dalam grup WhatsApp memperlihatkan upaya mobilisasi dukungan terhadap calon tertentu—sebuah bentuk rekayasa politik di ruang akademik.
Dua somasi resmi telah dikirim kepada Prof. Basyuni tanpa tanggapan. Diamnya yang bersangkutan memperlihatkan rendahnya tanggung jawab moral dan lemahnya kesadaran etika di kalangan elite universitas.
Sebagai respon, FP-USU telah menyerahkan laporan investigatif dan kajian analitis kepada Kemendikti Saintek melalui Inspektorat Jenderal (Nomor: 22/FP-USU/X/2025). Dokumen ini bukan serangan pribadi, melainkan panggilan moral untuk menyelamatkan integritas universitas.
Universitas adalah cermin etika bangsa. Ketika cermin itu retak karena penyimpangan kekuasaan, yang hancur bukan hanya reputasi lembaga, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap dunia akademik.
FP-USU menegaskan, pemilihan rektor harus berlandaskan prinsip: luber (langsung,umum, bebas, rahasia), jurdil (jujur dan adil), transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan bebas konflik kepentingan. Tanpa itu, kampus kehilangan legitimasi moral sebagai penjaga kebenaran.
Majelis Wali Amanat seharusnya menjadi benteng terakhir independensi kampus, bukan alat legitimasi politik eksternal. Karena itu, setiap bentuk intervensi, bahkan yang bersifat simbolik seperti pemilihan tempat rapat, harus ditolak dengan tegas.
Pelaksanaan rapat di kantor Kementerian Imigrasi menciptakan simbol berbahaya: universitas di bawah pengawasan birokrasi. Padahal kampus adalah ruang merdeka bagi nalar, bukan perpanjangan tangan kekuasaan.
Perjuangan FP-USU bukan soal politik rektorat, melainkan soal martabat universitas dan tanggung jawab kaum intelektual. USU harus kembali menjadi benteng moral dan laboratorium integritas bangsa, bukan sekadar institusi yang menyesuaikan diri dengan tekanan eksternal.
Kami menyerukan kepada civitas akademika, alumni, Dewan Guru Besar, dan masyarakat sipil untuk bersatu menjaga kedaulatan universitas. Hanya dengan integritas, transparansi, dan keberanian moral, USU dapat kembali menjadi universitas rakyat—bukan universitas kekuasaan.
Demikian.
Siaran Pers, 12 Nopember 2025
Forum Penyelamat Universitas Sumatera Utara (FP-USU)
Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, S.H.
Ketua


Posting Komentar
0Komentar