Oleh:
OK.Saidin
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
a.
Yang
Baru dari UU No. 65 Tahun 2024
Perubahan Undang-Undang Paten bukan hanya soal
perubahan pasal dan ayat. Di baliknya, ada dampak nyata bagi dunia usaha,
investor, hingga para peneliti di perguruan tinggi. Perubahan undang-undang
membawa pengaruh dalam praktik perdagangan dan investasi. Dampak perubahan
undang-undang ini sebagian telah dibincangkan dalam kegiatan ”Sosialisasi UU
Paten: Perkembangan dan Implikasi terhadap Bisnis” yang digelar di World Trade
Center Jakarta pada 6 Mei 2025.
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara
Kelompok Kerja Kekayaan Intelektual EuroCham dan Principal Rouse Consulting
bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum
Republik Indonesia. Target awal kegiatan ini adalah untuk memperkenalkan
substansi baru dalam Undang-undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga
atas UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten kepada para pelaku usaha, konsultan
kekayaan intelektual, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dalam uraiannya Ika Ahyani Kurniawati Direktur
Teknologi Informasi DJKI yang Mewakili
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, menjelaskan bahwa perubahan
undang-undang lahir dari kebutuhan untuk
mempercepat proses, meningkatkan transparansi, dan memberi pelindungan yang
lebih adaptif terhadap dinamika inovasi saat ini.
Menurutnya, dengan perubahan undang-undang
ini, negara tidak hanya melindungi invensi, tetapi juga mendorong hilirisasi
riset dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Perubahan-perubahan ini
selaras dengan kebutuhan pemohon paten, baik dari sektor pendidikan, riset,
maupun industri.
Hal baru yang tampak dalam perubahan
undang-undang ini , antara lain baru hanya sebatas:
a. Perpanjangan masa tenggang (grace period), memberikan
ruang lebih luas bagi inventor untuk mencari pendanaan tanpa kehilangan
kebaruan invensinya.
b. Pemeriksaan substantif lebih awal,
mempersingkat waktu tunggu bagi pemohon untuk memperoleh keputusan pelindungan.
c. Pemeriksaan substantif kembali (re-eksaminasi),
memberi kesempatan kedua bagi pemohon melakukan revisi klaim.
d. Kewajiban surat pernyataan pelaksanaan paten,
yang mempermudah pengawasan dan pelaksanaan lisensi wajib.
Pada kesempatan Kin Wah Chow, Ketua
Sub-Kelompok Kerja Kekayaan Intelektual EuroCham sekaligus Principal di Rouse
Consulting, turut memberikan scatatan dan menggarisbawahi pentingnya pemahaman
bersama antara regulator dan pelaku usaha dalam menyikapi perubahan kebijakan.
Materi terkait teknis dalam pertemuan itu disampaikan oleh Kepala
Subdirektorat Komisi Banding Paten DJKI, Lily Evelina Sitorus, yang mengupas
sejumlah pasal penting dalam UU yang baru, termasuk implikasinya di lapangan.
Materi yang dibahas anatara lain terkait keberadaan program komputer yang diatur dalam
Pasal 4 huruf c dan d. Program komputer
sepenuhnya berada dalam cakupan UU Hak Cipta, yakni Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014. P{rogream kompouter
dapat dipetenkan dipatenkan, namun harus ada unsur perangkat keras yang
menyertainya. Kesimpulannya, software masuk dalam rezim pelindungan hak
cipta, bukan paten, kecuali terintegrasi dengan hardware. Demikian juga
isu terkait sumber daya genetik juga dibincangkan. Terkait ini mekanisme
pemeriksaan substantif dilakukan lebih
awal.
Selain inventor, anak
negeri juga harus dilindungi dari sebuan teknologi asing dan serbuat
produk-produk asing terutama dalam bidang teknologi yang dibutuhkan manusia,
agar bangsa ini tidak melulu dijadikan Negara konsumen, tapi harus diberi
peluang untuk menjadi Negara produsen melalui alih teknologi.
Di samping itu dalam
bidang obat-obatan semisal Remdesivir, Actemra dan Ivig Gamaras yang sangat
dibutuhkan dunia untuk mengatasi serangan virus covid-19 dengan gejala berat,
harus didapatkan dengan harga mahal, Rp.60.000.000, - (enam puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) perampul karena Paten
atas obat-obatan itu masih didominasi oleh Industri Farmasi tertentu yang tidak
dibuka kesempatannya baik melalui Goverment use atau Compulsory Licensing untuk diproduksi oleh perusahaan industri
farmasi yang lain. Kebijakan TRIPs
Flexibility, Waiver TRIPs seperti
tak menjadi perhatian dan bahkan ini merupakan kematian atas Doha Declaration 2001.
Pelindungan Paten
pada era Revolusi Industri 4.0 akan semakin kompleks dan memasuki hubungan yang
paling rumit. Perbedaan pada cara kita menerapkan kekuasaan dan pilihan-pilihan
politis antar negara-negara dalam memaknai hubungan internasional dalam lalu
lintas perdagangan yang dikaitkan dengan pelindungan HKI telah menimbulkan banyak ketegangan dan ketimpangan. Bahkan
dalam konteks Indonesia sebagai negara yang tak cukup kuat untuk bersaing di era ini, telah menggerus gagasan dan cita-cita kemerdekaannya. Dalam perspektif ideologi
Pancasila, ketimpangan ini telah menggeser nilai-nilai kebangsaan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, nilai keadilan dan bahkan nilai
ketuhanan.
Pertanyaan yang
selalu hadir di benak kita adalah; bagaimana kita dapat mengatasi, mencegah
atau setidak-tidaknya mengurangi
ketimpangan-ketimpangan yang timbul dari konsfigurasi berbagai kekuatan yang
muncul di era revolusi industri
4.0. Era Revolusi Industri 4.0 telah
membuat kesenjangan antar generasi dan ketimpangan antara negara industri maju
(sebagai pemilik paten) dengan negara berkembang sebagai negara konsumen. Oleh
karena itu menjadi penting untuk dibuka
dialog antara keduanya. Dialog antar generasi dan dialog antara negara industri
maju dengan negara berkembang.
Tanpa bermaksud untuk
membesar-besarkan masalah, kita harus berani menentukan pilihan untuk mencegah
berlangsungnya kecenderungan-kecenderungan negara maju untuk melancarkan penjajahannya di Indonesia dengan menggunakan instrumen hukum
Paten. Seiring dengan itu Indonesia harus membangun ekonominya melalui kekuatan
sendiri dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam negeri. Instrumen hukum
paten harus mampu mengawal cita-cita kemerdekaannya, dan kembali kepada Ideologi Pancasila jika
bangsa ini ingin menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri
Ketika bangsa ini menyatakan kemerdekaannya, lepas
dari belenggu Kolonialisme, pendiri bangsa ini sepakat untuk memilih menjadi negara merdeka dan mandiri. Bung Karno menyebutnya
“Negara merdeka berdiri di atas kaki sendiri”. Untuk menjadi bangsa yang mandiri
pendiri bangsa ini memilih Pancasila sebagai Ideologi Negara. Landasan berpijak
semua kebijakan dan keputusan yang akan diambil oleh penyelenggara Negara.
Tidak itu saja Pancasila juga dijadikan sebagai sumber inspirasi (pandangan
hidup), landasan moral bangsa, adab, etika dan sumber dari semua tertib hukum.
Namun dalam perjalanannya
berkali-kali pula Pancasila mendapat ancaman dari dalam negeri dan nilai-nilai
itu semakin hari semakin bergeser akibat tergerus oleh pengaruh kehidupan
(politik, ekonomi dan peradaban) global.
Dalam
bidang pelindungan HKI khususnya Paten, undang-undang paten Indonesia pun tak
kuasa untuk kembali atau meletakkan dasar berpijaknya pada Pancasila dan
cita-cita kemerdekaan. Akibatnya kemandirian bangsa dalam bidang pengelolaan
sumber daya alam tak lagi dapat dipertahankan.
Fakta bahwa lebih dari 80 % bahan mentah dunia berasal dari negara miskin dan negara berkembang termasuk
Indonesia) dipakai oleh kurang dari sepertiga ummat manusia. Bahan-bahan itu
dieksploitasi dan eksplorasi oleh negara-negara industri maju melalui
instrument hukum paten. Pihak asing meminta untuk patennya dilindungi di
Indonesia, tapi tidak dilaksanakan di Indonesia. Indonesia harus puas dengan
berbagai peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di negerinya yang kian
hari kian melangkah ke arah kapitalis liberal. Sebaliknya dalam bidang
obat-obatannya misalnya, Indonesia sangat tergantung dengan Asing. Hampir 90 %
bahan baku obat-obatan didatangkan dari luar negeri, begitu pernyataan Menteri
BUMN pada bulan April 2020 (Kumparan, Jakarta, 16 April 2020).
Kondisi ini terjadi bukan tidak disadari, akan tetapi
masalah ini memerlukan tindakan dan penyesuaian oleh negara-negara industri
maju dengan Indonesia yang memiliki kemampuan terbatas. Sebagai contoh dalam industri Farmasi
Indonesia ingin menuntut agar sebahagian besar bahan-bahan mentah yang
dihasilkan olehnya harus dipakai secara langsung untuk mengatasi
ketertinggalannya. Teknologi dan Industri serta invensi asing yang dilindungi -
menurut sistem hukum - di Indonesia
harus dilaksanakan di Indonesia. Paling tidak itu yang hendak dikuatkan oleh
Undang-undang No.13 Tahun 2016. Para ilmuwan, Pemerintah dan kita semua
hendaknya duduk bersama berbagi pemikiran dan pengetahuan tentang situasi hukum
HKI yang sedang dihadapi Indonesia, khususnya dalam pelindungan Paten dalam
konteks kemandirian bangsa melalui perspektif ideologi Pancasila.
Peristiwa itu terjadi persis pada saat pemerintah sedang
mempersiapkan Rancangan Perubahan UU Paten No.13 Tahun 2016. Dorongan untuk
perubahan ini sebenarnya sudah lama diendapkan, namun desakan dari negara industri maju yang notabene pemilik dan pemegang paten tak
dapat didiamkan begitu saja. Dalam berbagai pertemuan Internasional dan para
diplomat Indonesia di Kemenlu selalu kehabisan jawaban setiap kali ada cecaran
pertanyaan tentang UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten khususnya mengenai norma yang dimuat dalam
pasal 20, UU No.13 Tahun 2016. Amerika Serikat dan beberapa negara industri
maju lainnya merasa “terganggu” dengan klausule yang dimuat dalam pasal 20. UU
No.13 Tahun 2016 tersebut, sebelum diubah melalui Pasal 107 Undang-undang No.
11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Tak
cukup sampai di situ saja Undang-undang yang disebut terakhir ini sepanjang
mengenai paten, juga diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 65
Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten, yang dimuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024
Nomor 25, Tanggal 28 Oktober 2024 dan tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 7002.
Norma yang termuat
dalam Pasal 20 itu mengharuskan pemegang paten wajib membuat produk atau
mengerjakan proses di Indonesia. Oleh pihak asing norma ini dianggap
diskriminatif yang dapat menghambat perdagangan. Mereka menganggap pasal 20 UU
No.13 Tahun 2016 itu bertentangan dengan article
27 (1) TRIPs Agreement yang konvensi induknya Marakesh Convention sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7
Tahun 1994.
Kita seperti kehilangan kemandirian, nama baik dan
kedaulatan kita sebagai bangsa yang merdeka sepertinya terusik. Inilah persoalan bangsa kita dari waktu ke
waktu yakni tak mampu “mengangkat kepala” di hadapan negara-negara maju. Ujung-ujungnya
undang-undang yang baru saja disahkan kerap kali tak bisa bertahan lama. Ada
kelemahan yang mendasar baik pada tataran basic
policy maupun pada tataran enactment
policy. Mengapa undang-undang paten harus dirubah, apakah ada faktor asing
yang begitu dominan untuk “menekan” Indonesia agar merubah instrumen hukum
terkait perdagangan dan investasi yang merugikan kepentingan asing? Atau adakah
kekeliruan sejak awal pada saat undang-undang itu didesain atau karena justeru
karena undang-undang itu dipandang tak lagi mampu untuk menjawab tantangan
zaman yang terus berubah? Inilah pertanyaan yang masih tersisa yang perlu
mendapatkan jawaban dalam mengantisipasi langkah perbaikan undang-undang ini ke
depan.
Sebagai bangsa yang berdaulat Indonesia harus melindungi
kepentingan nasionalnya (commit
nationally), namun sebagai bangsa yang berada bersama-sama dalam pergaulan
Internasional Indonesia juga harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait
dengan kepentingan global (think globally)
dengan menyeimbangkannya dengan tuntutan kepentingan lokal (act locally). Bumi yang merupakan planet
kecil yang dihuni manusia perlu diselamatkan dan di sini dituntut komunikasi
Internasional yang lebih berpihak pada kepentingan bersama.
Pelindungan Paten adalah salah satu instrumen untuk
melindungi bumi dari eksploitasi dan eksplorasi berlebihan dari negara industri
maju yang kian hari kian rakus seolah-olah bumi ini hanya untuk dinikmati hari
ini. Di sinilah dituntut kearifan para
juru runding negara kita dalam berbagai perundingan internasional untuk
merumuskan kaedah-kaedah hukum konkrit yang lebih aplikatif memiliki muatan
yang berkepastian hukum, bermanfaat dan berkeadilan untuk keberlangsungan hidup
ummat manusia di muka bumi. Meskipun kita tidak menuntut untuk diperlakukan
secara equal karena ketertinggalan kita, tapi kita harus mampu mengatakan bahwa
ketertinggalan kita bukanlah sesuatu yang kita kehendaki dan kehancuran satu negara akan
membawa dampak kerugian bagi negara lainnya.
Ada beberapa alasan yang mendorongan untuk dilakukannya
perubahan Undang-undang Paten N0.13 Tahun 2016 yang antara lain dikarenakan;
1. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-undang Paten No.13 Tahun 2016
yang menimbulkan polemik, baik dalam skala nasional maupun dalam skala
Internasional.
2. Terdapatnya hal-hal yang baru yang secara substantif yang belum
diatur dalam Undang-undang Paten No.13 Tahun 2016.
3. Ada desakan utusan negara-negara industri maju (negara yang banyak
memiliki Paten) dalam berbagai pertemuan Internasional dan wakil Indonesia di
Kemenlu selalu kehabisan jawaban setiap kali ada cecaran pertanyaan tentang UU
No.13 Tahun 2016 tentang Paten.
4. Adanya tuntutan mendesak terkait
perminataan pengabaian atau pengenyampingan beberapa kentuan TRIPs Agreement dari Negara-negara
berkembang, terkait Paten yang berhubungan dengan obat-obatan (Vaksin) dan
Teknologi Kesehatan sehubungan kepentingan komuniutas global untuk pencegahan
semakin meluasnya dampak pandemi Covid-19.
Usulan untuk perubahan beberapa pasal UU No.13 Tahun
2016, itu meliputi beberapa ketentuan yang termuat dalam:
1. Pasal 3 angka 2 mengenai paten sederhana yang diberikan untuk setiap
invensi baru, pengembangan suatu produk atau proses yang telah ada dan dapat
diterapkan dalam industri untuk diusulkan kembali ke undang-undang paten yang
lama yaitu hanya untuk alat tangible
(berwujud) yang memiliki kegunaan praktis agar sinkron dengan artikel 27 (1) TRIP’s Agreement.
2. Pasal 4 huruf c.3 dan d tentang metode bisnis dan program komputer
apakah dapat menjadi subjek yang dapat dipatenkan karena pengaturannya sudah
ada di dalam Undang-undang Hak Cipta.
3. Pasal 4 huruf f untuk dihilangkan karena ketentuan ini dapat
menimbulkan monopoli dan obat yang diberi paten tidak dapat menjadi obat
generik.
4.
Pasal 4.f.1 dan 2 menyangkut
penggunaan kedua/penggunaan selanjutnya dan bentuk baru dari senyawa yang sudah ada
yang tidak dapat dipatenkan.
5. Pasal 6 terkait grace period sebaiknya
tidak dibatasi selama 6 bulan tetapi 12 bulan guna memberi kesempatan lebih
lama pada peneliti.
6. Pasal 12 terkait invensi dalam lingkup pekerjaan harus melindungi
hak-hak karyawan dan tidak semata-mata berpihak kepada pemilik modal.
7.
Pasal 20 tentang kewajiban
membuat produk/menggunakan proses paten di Indonesia
8.
Juga terkait dengan Pasal 39
tentang perubahan terhadap perubahan data permohonan.
9.
Pasal 82 tentang lisensi wajib
10.
Pasal 82 ayat (1) huruf c perlu
diperjelas lagi karena banyak permohonan paten khususnya paten sederhana yang
mengambil ide dari paten sebelumnya dengan iktikad buruk.
11.
Demikian juga Pasal 93 terkait
ekspor dan impor produk farmasi dan itu hanya untuk pelaksanaan paten oleh
pemerintah bukan lisensi wajib sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 82.
12.
Pasal 109 tentang pelaksanaan
paten oleh pemerintah.
13.
Pasal 127 ayat (2) perlu
dihapus karena pemilik paten ingin membayar sendiri tanpa melalui kuasa juga
terkait dengan Pasal 128 pemegang paten dapat mengajukan surat permohonan
terkait pembayaran biaya tahunan dengan menggunakan mekanisnme tenggang waktu.
Beberapa pasal yang perlu direvisi tersebut, karena
tidak sinkron dengan TRIP’s Agreement yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU
No.7 Tahun 1994. Norma yang termuat dalam Pasal 20 menjadi sorotan utama karena,
mengharuskan pemegang paten untuk membuat produk atau mengerjakan prosesnya di
Indonesia. Oleh pihak Asing norma ini dianggap diskriminatif yang dapat
menghambat perdagangan oleh karena pasal 20 Undang-undang No.13 Tahun 2016
dipandang bertentangan dengan article 27
(1) TRIPs Agreement. Para pemilik paten asing menghendaki pelindungan
patennya di Indonesia tanpa harus membuat produk atau mengerjakan proses di
Indonesia.
Sementara itu di
sisi lain negara-negara yang menjadi tujuan pemasaran produk patennya tidak
menghendaki jika mereka hanya diposisikan sebagai “penjaga” pemilik paten yang
berasal dari negara-negara lain yang hanya menjadi sasaran pemasaran produksinya.
Di sinilah peran Negara dituntut untuk “hadir’. Negara harus kembali kepada
“khittah” Tahun 1945 yang memuat cita-cita kemerdekaan dan menjadikan Pancasila
sebagai landasan ideologis/filosofis bangsa dan dasar pembuatan semua norma
hukum yang berlaku di Indonesia. Meminjam teori Hans Kelsen, Pancasila harus dijadikan
sumber hukum tertinggi atau diletakkan sebagai Grundnorm. Tempat menggantungkan semua norma hukum konkrit kata
C.W. Patton (Paton : 1979). Bersambung....


Posting Komentar
0Komentar