PELINDUNGAN PATEN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PENCAPAIAN VISI INDONESIA EMAS 2045 (V)

Media Barak Time.com
By -
0





Oleh: OK.Saidin

Guru  Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

 

a.             Yang Baru dari UU No. 65 Tahun 2024

Perubahan Undang-Undang Paten bukan hanya soal perubahan pasal dan ayat. Di baliknya, ada dampak nyata bagi dunia usaha, investor, hingga para peneliti di perguruan tinggi. Perubahan undang-undang membawa pengaruh dalam praktik perdagangan dan investasi. Dampak perubahan undang-undang ini sebagian telah dibincangkan dalam kegiatan ”Sosialisasi UU Paten: Perkembangan dan Implikasi terhadap Bisnis” yang digelar di World Trade Center Jakarta pada 6 Mei 2025.

Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Kelompok Kerja Kekayaan Intelektual EuroCham dan Principal Rouse Consulting bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum Republik Indonesia. Target awal kegiatan ini adalah untuk memperkenalkan substansi baru dalam Undang-undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten kepada para pelaku usaha, konsultan kekayaan intelektual, dan pemangku kepentingan lainnya.

Dalam uraiannya Ika Ahyani Kurniawati Direktur Teknologi Informasi DJKI yang  Mewakili Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, menjelaskan bahwa perubahan undang-undang  lahir dari kebutuhan untuk mempercepat proses, meningkatkan transparansi, dan memberi pelindungan yang lebih adaptif terhadap dinamika inovasi saat ini.

Menurutnya, dengan perubahan undang-undang ini, negara tidak hanya melindungi invensi, tetapi juga mendorong hilirisasi riset dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Perubahan-perubahan ini selaras dengan kebutuhan pemohon paten, baik dari sektor pendidikan, riset, maupun industri.

Hal baru yang tampak dalam perubahan undang-undang ini , antara lain baru hanya sebatas:

a.       Perpanjangan masa tenggang (grace period), memberikan ruang lebih luas bagi inventor untuk mencari pendanaan tanpa kehilangan kebaruan invensinya.

b.      Pemeriksaan substantif lebih awal, mempersingkat waktu tunggu bagi pemohon untuk memperoleh keputusan pelindungan.

c.       Pemeriksaan substantif kembali (re-eksaminasi), memberi kesempatan kedua bagi pemohon melakukan revisi klaim.

d.      Kewajiban surat pernyataan pelaksanaan paten, yang mempermudah pengawasan dan pelaksanaan lisensi wajib.

Pada kesempatan Kin Wah Chow, Ketua Sub-Kelompok Kerja Kekayaan Intelektual EuroCham sekaligus Principal di Rouse Consulting, turut memberikan scatatan dan menggarisbawahi pentingnya pemahaman bersama antara regulator dan pelaku usaha dalam menyikapi perubahan kebijakan.

Materi terkait teknis  dalam pertemuan itu disampaikan oleh Kepala Subdirektorat Komisi Banding Paten DJKI, Lily Evelina Sitorus, yang mengupas sejumlah pasal penting dalam UU yang baru, termasuk implikasinya di lapangan.

Materi yang dibahas anatara lain terkait  keberadaan program komputer yang diatur dalam Pasal 4 huruf c dan d.  Program komputer sepenuhnya berada dalam cakupan UU Hak Cipta, yakni Undang-undang  Nomor 28 Tahun 2014. P{rogream kompouter dapat dipetenkan dipatenkan, namun harus ada unsur perangkat keras yang menyertainya. Kesimpulannya, software masuk dalam rezim pelindungan hak cipta, bukan paten, kecuali terintegrasi dengan hardware. Demikian juga isu terkait sumber daya genetik juga dibincangkan. Terkait ini mekanisme pemeriksaan substantif  dilakukan lebih awal.

Selain inventor, anak negeri juga harus dilindungi dari sebuan teknologi asing dan serbuat produk-produk asing terutama dalam bidang teknologi yang dibutuhkan manusia, agar bangsa ini tidak melulu dijadikan Negara konsumen, tapi harus diberi peluang untuk menjadi Negara produsen melalui alih teknologi.

Di samping itu dalam bidang obat-obatan semisal Remdesivir, Actemra dan Ivig Gamaras yang sangat dibutuhkan dunia untuk mengatasi serangan virus covid-19 dengan gejala berat, harus didapatkan dengan harga mahal, Rp.60.000.000, - (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) perampul karena Paten atas obat-obatan itu masih didominasi oleh Industri Farmasi tertentu yang tidak dibuka kesempatannya baik melalui Goverment use atau Compulsory Licensing untuk diproduksi oleh perusahaan industri farmasi yang lain. Kebijakan TRIPs Flexibility, Waiver TRIPs seperti tak menjadi perhatian dan bahkan ini merupakan kematian atas Doha Declaration 2001.

Pelindungan Paten pada era Revolusi Industri 4.0 akan semakin kompleks dan memasuki hubungan yang paling rumit. Perbedaan pada cara kita menerapkan kekuasaan dan pilihan-pilihan politis antar negara-negara dalam memaknai hubungan internasional dalam lalu lintas perdagangan yang dikaitkan dengan pelindungan HKI telah menimbulkan  banyak ketegangan dan ketimpangan. Bahkan dalam konteks Indonesia sebagai negara yang tak cukup kuat untuk bersaing  di era ini, telah menggerus gagasan dan cita-cita  kemerdekaannya. Dalam perspektif ideologi Pancasila, ketimpangan ini telah menggeser nilai-nilai kebangsaan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, nilai keadilan dan bahkan nilai ketuhanan.

Pertanyaan yang selalu hadir di benak kita adalah; bagaimana kita dapat mengatasi, mencegah atau  setidak-tidaknya mengurangi ketimpangan-ketimpangan yang timbul dari konsfigurasi berbagai kekuatan yang muncul di era revolusi  industri 4.0.  Era Revolusi Industri 4.0 telah membuat kesenjangan antar generasi dan ketimpangan antara negara industri maju (sebagai pemilik paten) dengan negara berkembang sebagai negara konsumen. Oleh karena itu menjadi penting untuk  dibuka dialog antara keduanya. Dialog antar generasi dan dialog antara negara industri maju dengan negara berkembang.

Tanpa bermaksud untuk membesar-besarkan masalah, kita harus berani menentukan pilihan untuk mencegah berlangsungnya kecenderungan-kecenderungan negara maju untuk melancarkan  penjajahannya di  Indonesia dengan menggunakan instrumen hukum Paten. Seiring dengan itu Indonesia harus membangun ekonominya melalui kekuatan sendiri dengan memanfaatkan potensi yang ada di dalam negeri. Instrumen hukum paten harus mampu mengawal cita-cita kemerdekaannya,  dan kembali kepada Ideologi Pancasila jika bangsa ini ingin menjadi bangsa yang merdeka dan mandiri

Ketika bangsa ini menyatakan kemerdekaannya, lepas dari belenggu Kolonialisme, pendiri bangsa ini sepakat untuk memilih menjadi negara merdeka dan mandiri. Bung Karno menyebutnya “Negara merdeka berdiri di atas kaki sendiri”. Untuk menjadi bangsa yang mandiri pendiri bangsa ini memilih Pancasila sebagai Ideologi Negara. Landasan berpijak semua kebijakan dan keputusan yang akan diambil oleh penyelenggara Negara. Tidak itu saja Pancasila juga dijadikan sebagai sumber inspirasi (pandangan hidup), landasan moral bangsa, adab, etika dan sumber dari semua tertib hukum. Namun dalam perjalanannya berkali-kali pula Pancasila mendapat ancaman dari dalam negeri dan nilai-nilai itu semakin hari semakin bergeser akibat tergerus oleh pengaruh kehidupan (politik, ekonomi dan peradaban) global.

Dalam bidang pelindungan HKI khususnya Paten, undang-undang paten Indonesia pun tak kuasa untuk kembali atau meletakkan dasar berpijaknya pada Pancasila dan cita-cita kemerdekaan. Akibatnya kemandirian bangsa dalam bidang pengelolaan sumber daya alam tak lagi dapat dipertahankan.  Fakta bahwa lebih dari 80 % bahan mentah dunia berasal dari negara miskin dan negara berkembang termasuk Indonesia) dipakai oleh kurang dari sepertiga ummat manusia. Bahan-bahan itu dieksploitasi dan eksplorasi oleh negara-negara industri maju melalui instrument hukum paten. Pihak asing meminta untuk patennya dilindungi di Indonesia, tapi tidak dilaksanakan di Indonesia. Indonesia harus puas dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di negerinya yang kian hari kian melangkah ke arah kapitalis liberal. Sebaliknya dalam bidang obat-obatannya misalnya, Indonesia sangat tergantung dengan Asing. Hampir 90 % bahan baku obat-obatan didatangkan dari luar negeri, begitu pernyataan Menteri BUMN pada bulan April 2020 (Kumparan, Jakarta, 16 April 2020).

Kondisi ini terjadi bukan tidak disadari, akan tetapi masalah ini memerlukan tindakan dan penyesuaian oleh negara-negara industri maju dengan Indonesia yang memiliki kemampuan terbatas.  Sebagai contoh dalam industri Farmasi Indonesia ingin menuntut agar sebahagian besar bahan-bahan mentah yang dihasilkan olehnya harus dipakai secara langsung untuk mengatasi ketertinggalannya. Teknologi dan Industri serta invensi asing yang dilindungi - menurut sistem hukum - di   Indonesia harus dilaksanakan di Indonesia. Paling tidak itu yang hendak dikuatkan oleh Undang-undang No.13 Tahun 2016. Para ilmuwan, Pemerintah dan kita semua hendaknya duduk bersama berbagi pemikiran dan pengetahuan tentang situasi hukum HKI yang sedang dihadapi Indonesia, khususnya dalam pelindungan Paten dalam konteks kemandirian bangsa melalui perspektif ideologi Pancasila.

Peristiwa itu terjadi persis pada saat pemerintah sedang mempersiapkan Rancangan Perubahan UU Paten No.13 Tahun 2016. Dorongan untuk perubahan ini sebenarnya sudah lama diendapkan, namun desakan dari negara industri maju yang notabene pemilik dan pemegang paten tak dapat didiamkan begitu saja. Dalam berbagai pertemuan Internasional dan para diplomat Indonesia di Kemenlu selalu kehabisan jawaban setiap kali ada cecaran pertanyaan tentang UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten   khususnya mengenai norma yang dimuat dalam pasal 20, UU No.13 Tahun 2016. Amerika Serikat dan beberapa negara industri maju lainnya merasa “terganggu” dengan klausule yang dimuat dalam pasal 20. UU No.13 Tahun 2016 tersebut, sebelum diubah melalui Pasal 107 Undang-undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Tak cukup sampai di situ saja Undang-undang yang disebut terakhir ini sepanjang mengenai paten, juga diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang dimuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 25, Tanggal 28 Oktober 2024 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7002.

 Norma yang termuat dalam Pasal 20 itu mengharuskan pemegang paten wajib membuat produk atau mengerjakan proses di Indonesia. Oleh pihak asing norma ini dianggap diskriminatif yang dapat menghambat perdagangan. Mereka menganggap pasal 20 UU No.13 Tahun 2016 itu bertentangan dengan article 27 (1) TRIPs Agreement yang konvensi induknya Marakesh Convention sudah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1994.

Kita seperti kehilangan kemandirian, nama baik dan kedaulatan kita sebagai bangsa yang merdeka sepertinya terusik.  Inilah persoalan bangsa kita dari waktu ke waktu yakni tak mampu “mengangkat kepala” di hadapan negara-negara maju. Ujung-ujungnya undang-undang yang baru saja disahkan kerap kali tak bisa bertahan lama. Ada kelemahan yang mendasar baik pada tataran basic policy maupun pada tataran enactment policy. Mengapa undang-undang paten harus dirubah, apakah ada faktor asing yang begitu dominan untuk “menekan” Indonesia agar merubah instrumen hukum terkait perdagangan dan investasi yang merugikan kepentingan asing? Atau adakah kekeliruan sejak awal pada saat undang-undang itu didesain atau karena justeru karena undang-undang itu dipandang tak lagi mampu untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah? Inilah pertanyaan yang masih tersisa yang perlu mendapatkan jawaban dalam mengantisipasi langkah perbaikan undang-undang ini ke depan.

Sebagai bangsa yang berdaulat Indonesia harus melindungi kepentingan nasionalnya (commit nationally), namun sebagai bangsa yang berada bersama-sama dalam pergaulan Internasional Indonesia juga harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait dengan kepentingan global (think globally) dengan menyeimbangkannya dengan tuntutan kepentingan lokal (act locally). Bumi yang merupakan planet kecil yang dihuni manusia perlu diselamatkan dan di sini dituntut komunikasi Internasional yang lebih berpihak pada kepentingan bersama. 

Pelindungan Paten adalah salah satu instrumen untuk melindungi bumi dari eksploitasi dan eksplorasi berlebihan dari negara industri maju yang kian hari kian rakus seolah-olah bumi ini hanya untuk dinikmati hari ini.  Di sinilah dituntut kearifan para juru runding negara kita dalam berbagai perundingan internasional untuk merumuskan kaedah-kaedah hukum konkrit yang lebih aplikatif memiliki muatan yang berkepastian hukum, bermanfaat dan berkeadilan untuk keberlangsungan hidup ummat manusia di muka bumi. Meskipun kita tidak menuntut untuk diperlakukan secara equal karena ketertinggalan kita, tapi kita harus mampu mengatakan bahwa ketertinggalan kita bukanlah sesuatu yang kita kehendaki dan kehancuran satu negara akan membawa dampak kerugian bagi negara lainnya.

Ada beberapa alasan yang mendorongan untuk dilakukannya perubahan Undang-undang Paten N0.13 Tahun 2016 yang antara lain dikarenakan;

1. Terdapat beberapa pasal dalam Undang-undang Paten No.13 Tahun 2016 yang menimbulkan polemik, baik dalam skala nasional maupun dalam skala Internasional.

2. Terdapatnya hal-hal yang baru yang secara substantif yang belum diatur dalam Undang-undang Paten No.13 Tahun 2016.

3. Ada desakan utusan negara-negara industri maju (negara yang banyak memiliki Paten) dalam berbagai pertemuan Internasional dan wakil Indonesia di Kemenlu selalu kehabisan jawaban setiap kali ada cecaran pertanyaan tentang UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten.

4. Adanya tuntutan mendesak terkait perminataan pengabaian atau pengenyampingan beberapa kentuan TRIPs Agreement dari Negara-negara berkembang, terkait Paten yang berhubungan dengan obat-obatan (Vaksin) dan Teknologi Kesehatan sehubungan kepentingan komuniutas global untuk pencegahan semakin meluasnya dampak pandemi Covid-19.

Usulan untuk perubahan beberapa pasal UU No.13 Tahun 2016, itu meliputi beberapa ketentuan yang termuat dalam:

1.      Pasal 3 angka 2 mengenai paten sederhana yang diberikan untuk setiap invensi baru, pengembangan suatu produk atau proses yang telah ada dan dapat diterapkan dalam industri untuk diusulkan kembali ke undang-undang paten yang lama yaitu hanya untuk alat tangible (berwujud) yang memiliki kegunaan praktis agar sinkron dengan artikel 27 (1) TRIP’s Agreement.

2.      Pasal 4 huruf c.3 dan d tentang metode bisnis dan program komputer apakah dapat menjadi subjek yang dapat dipatenkan karena pengaturannya sudah ada di dalam Undang-undang Hak Cipta.

3.      Pasal 4 huruf f untuk dihilangkan karena ketentuan ini dapat menimbulkan monopoli dan obat yang diberi paten tidak dapat menjadi obat generik.

4.      Pasal 4.f.1 dan 2 menyangkut penggunaan kedua/penggunaan selanjutnya dan bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak dapat dipatenkan. 

5.      Pasal 6 terkait grace period sebaiknya tidak dibatasi selama 6 bulan tetapi 12 bulan guna memberi kesempatan lebih lama pada peneliti.

6.      Pasal 12 terkait invensi dalam lingkup pekerjaan harus melindungi hak-hak karyawan dan tidak semata-mata berpihak kepada pemilik modal.

7.      Pasal 20 tentang kewajiban membuat produk/menggunakan proses paten di Indonesia

8.      Juga terkait dengan Pasal 39 tentang perubahan terhadap perubahan data permohonan.

9.      Pasal 82 tentang lisensi wajib

10.  Pasal 82 ayat (1) huruf c perlu diperjelas lagi karena banyak permohonan paten khususnya paten sederhana yang mengambil ide dari paten sebelumnya dengan iktikad buruk.

11.  Demikian juga Pasal 93 terkait ekspor dan impor produk farmasi dan itu hanya untuk pelaksanaan paten oleh pemerintah bukan lisensi wajib sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 82.

12.  Pasal 109 tentang pelaksanaan paten oleh pemerintah.

13.  Pasal 127 ayat (2) perlu dihapus karena pemilik paten ingin membayar sendiri tanpa melalui kuasa juga terkait dengan Pasal 128 pemegang paten dapat mengajukan surat permohonan terkait pembayaran biaya tahunan dengan menggunakan mekanisnme tenggang waktu.

Beberapa pasal yang perlu direvisi  tersebut, karena tidak sinkron dengan TRIP’s Agreement  yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1994. Norma yang termuat dalam Pasal 20 menjadi sorotan utama karena, mengharuskan pemegang paten untuk membuat produk atau mengerjakan prosesnya di Indonesia. Oleh pihak Asing norma ini dianggap diskriminatif yang dapat menghambat perdagangan oleh karena pasal 20 Undang-undang No.13 Tahun 2016 dipandang bertentangan dengan article 27 (1) TRIPs Agreement. Para pemilik paten asing menghendaki pelindungan patennya di Indonesia tanpa harus membuat produk atau mengerjakan proses di Indonesia.

 Sementara itu di sisi lain negara-negara yang menjadi tujuan pemasaran produk patennya tidak menghendaki jika mereka hanya diposisikan sebagai “penjaga” pemilik paten yang berasal dari negara-negara lain yang hanya menjadi sasaran pemasaran produksinya. Di sinilah peran Negara dituntut untuk “hadir’. Negara harus kembali kepada “khittah” Tahun 1945 yang memuat cita-cita kemerdekaan dan menjadikan Pancasila sebagai landasan ideologis/filosofis bangsa dan dasar pembuatan semua norma hukum yang berlaku di Indonesia. Meminjam teori Hans Kelsen, Pancasila harus dijadikan sumber hukum tertinggi atau diletakkan sebagai Grundnorm. Tempat menggantungkan semua norma hukum konkrit kata C.W. Patton (Paton : 1979). Bersambung....

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)