Baraktime.com|medan
Forum Penyelamat USU (FP-USU)~ Pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) seharusnya menjadi momentum sakral bagi kampus tertua di Sumatera Utara untuk menunjukkan kedewasaan berdemokrasi dan kematangan moral akademik. Namun, realitas yang muncul justru menampilkan wajah sebaliknya: integritas kampus tercoreng oleh dugaan kecurangan, pelanggaran etika, dan praktik politik kampus yang kian pragmatis.
Forum Penyelamat Universitas Sumatera Utara (FP-USU) melalui Surat Somasi Ke II Terbuka menggugat keras praktik yang disebut sebagai rekayasa Pilrek — mulai dari pemotretan surat suara hingga dugaan komunikasi terstruktur dalam grup internal yang berisi arahan untuk memilih kandidat tertentu. Bukti-bukti yang dilampirkan menunjukkan pola yang tidak sederhana, melainkan terindikasi sebagai pelanggaran sistematis yang menggerogoti sendi-sendi demokrasi kampus.
Kehadiran foto surat suara yang diduga diambil oleh salah seorang anggota Senat Akademik, Prof. Mohammad Basyuni, menjadi simbol paling terang dari lunturnya etika akademik. Di ruang yang seharusnya steril dari tekanan dan intervensi, tindakan itu menjadi bentuk nyata dari pelanggaran asas secrecy of ballot — asas kerahasiaan dalam pemilihan yang menjadi jantung demokrasi modern. Sekalipun USU berkilah tidak ada aturan tertulis yang melarangnya, tindakan tersebut secara moral dan akademik tidak dapat dibenarkan.
Kampus bukanlah ruang hampa etika. Di balik gelar dan toga, universitas memikul tanggung jawab moral menjaga nalar publik agar tetap rasional, jujur, dan beradab. Bila proses pemilihan pemimpinnya saja sudah cacat integritas, bagaimana mungkin ia dapat mendidik mahasiswa menjadi warga negara yang menjunjung kejujuran dan keadilan? Inilah paradoks moral yang kini menampar wajah USU di hadapan masyarakat.
Lebih jauh, FP-USU menilai bahwa praktik ini bukanlah insiden tunggal. Dalam somasi tersebut disebutkan adanya chat group internal yang berisi arahan untuk memilih calon tertentu. Ini menguatkan dugaan bahwa Pilrek USU diselenggarakan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) — konsep yang dalam hukum pemilu diartikan sebagai bentuk pelanggaran berat terhadap prinsip demokrasi. Artinya, pelanggaran ini tidak bisa lagi dipandang sebagai kekhilafan individu, melainkan kerusakan sistemik.
Jika benar demikian, maka Pilrek USU telah kehilangan makna substantifnya. Pemilihan rektor seharusnya bukan arena konsolidasi kekuasaan, tetapi forum moralitas akademik untuk memilih pemimpin yang berintegritas dan berjiwa pelayanan. Ketika praktik politik praktis menyusup ke dalamnya, universitas berubah menjadi miniatur oligarki — di mana suara bukan lagi hasil nurani, melainkan transaksi dan ketundukan.
Dari sisi hukum, FP-USU berpegang pada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Statuta USU (PP No. 16 Tahun 2014). Keduanya menegaskan prinsip demokrasi, keadilan, dan keterbukaan sebagai fondasi otonomi perguruan tinggi. Namun, otonomi itu bukan lisensi untuk melakukan manipulasi. Justru, ia menuntut tanggung jawab moral agar tata kelola kampus berjalan transparan dan akuntabel.
Pasal 13 huruf (b) Statuta USU bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa penyelenggaraan universitas harus demokratis dan berkeadilan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, dan kemajemukan. Dengan demikian, setiap bentuk kecurangan, intimidasi, atau manipulasi suara bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan pengkhianatan terhadap konstitusi akademik universitas itu sendiri.
Di titik ini, publik berhak bertanya: di mana posisi Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik USU? Sebagai organ tertinggi universitas, keduanya seharusnya menjadi penjaga moral dan pengendali etika institusi, bukan justru bagian dari sistem yang bermasalah. Ketika lembaga tertinggi kampus terindikasi abai, maka kepercayaan masyarakat terhadap universitas akan runtuh.
Somasi FP-USU yang menuntut pembatalan hasil suara, pencopotan anggota senat yang memfoto surat suara, serta pengguguran calon rektor yang diuntungkan oleh praktik itu, sesungguhnya bukan ancaman hukum semata. Ia adalah alarm moral yang menuntut agar demokrasi kampus segera dipulihkan. Universitas tidak boleh dibiarkan tenggelam dalam lumpur pragmatisme dan kepentingan kelompok.
Langkah FP-USU yang membuka opsi gugatan ke PTUN dan pelaporan ke KPK menunjukkan bahwa publik tidak lagi percaya pada mekanisme etik internal kampus. Ini situasi berbahaya: ketika masyarakat akademik kehilangan mekanisme koreksi diri, maka hukum eksternal harus turun tangan. Sebuah kemunduran serius dalam sejarah pendidikan tinggi.
Kecurangan dalam pemilihan rektor bukan sekadar pelanggaran prosedur administratif, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap misi universitas sebagai benteng moral bangsa. Dari ruang kelas hingga ruang senat, nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab seharusnya menjadi dasar pijak, bukan slogan kosong dalam dokumen visi-misi.
Dalam konteks lebih luas, Pilrek USU menjadi cermin kecil dari krisis integritas di dunia pendidikan nasional. Ketika lembaga pendidikan tinggi gagal menjaga independensinya, maka gelombang korupsi intelektual akan menular ke seluruh lini kehidupan publik. Di sinilah urgensi menegakkan etika akademik menjadi agenda nasional, bukan sekadar urusan internal kampus.
Demokrasi kampus yang cacat etika dan hukum adalah demokrasi yang membunuh akal sehat. Karena itu, penyelamatan USU bukan hanya tugas FP-USU, tetapi juga tanggung jawab moral seluruh civitas akademika dan alumni. Mereka wajib mengembalikan marwah universitas ke jalur yang benar — jalur ilmu, etika & moral, dan kejujuran.
Pada akhirnya, somasi ini bukan semata gugatan hukum, melainkan seruan etis, moral dan hukum untuk memulihkan kepercayaan publik dan legitimasi terhadap universitas. Bila rektor dipilih melalui kecurangan, maka ilmu kehilangan kemuliaannya. Dan jika ilmu kehilangan kemuliaannya, maka bangsa kehilangan masa depannya.
Demikian.
Siaran Pers
Forum Penyelamat USU
M. Taufik Umar Dani Harahap, SH., Ketua.


Posting Komentar
0Komentar