"Pruden Yang Tergilas Kecepatan: Due Diligence, Transparansi, Dan Krisis Akuntabilitas Hukum Di Balik Perpres Whoosh"

Media Barak Time.com
By -
0

 



Oleh: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH


Ketika jargon kecepatan dijadikan simbol kemajuan bangsa, ada sesuatu yang perlahan terkubur di bawah rel baja: kehati-hatian (prudence) dan pertanggungjawaban hukum. Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, atau Whoosh, kini menjadi potret paling gamblang bagaimana semangat ngebut dapat menabrak prinsip dasar tata kelola publik—transparansi dan due diligence.

Awalnya, proyek ini digadang berbiaya sekitar US$ 5,5–6 miliar, namun kenyataannya membengkak hingga US$ 7,2 miliar—lebih dari Rp 118 triliun. Pembengkakan hampir 40 persen itu bukan sekadar anomali teknis, melainkan bukti bahwa mekanisme due diligence tidak dijalankan secara disiplin. Padahal, prinsip kehati-hatian bukan jargon administratif, melainkan amanat konstitusi. Pasal 23 UUD 1945 dan UU Keuangan Negara menegaskan bahwa setiap rupiah uang publik harus dikelola secara terbuka, bertanggung jawab, dan untuk kemakmuran rakyat. Namun pada proyek Whoosh, transparansi itu justru kabur di balik kabut kebanggaan.


Inkonsistensi regulasi memperkeruh keadaan. Perpres Nomor 107 Tahun 2015 menyatakan proyek ini tidak menggunakan APBN atau jaminan pemerintah. Namun enam tahun kemudian, Perpres Nomor 93 Tahun 2021 membuka kembali pintu penggunaan APBN dan jaminan fiskal. Pergeseran ini bukan sekadar revisi administratif, tetapi perubahan filosofi tanggung jawab negara: dari proyek business-to-business (B2B) menjadi proyek semi-publik dengan risiko keuangan yang kini menempel di pundak negara. Dalam tata kelola publik, ini adalah red flag: kontradiksi antara narasi kemandirian bisnis dan praktik pembebanan publik.


Secara teknis, ketimpangan data kian mencolok. Studi awal memperkirakan 61.157 penumpang per hari. Revisi tahun 2022 menurunkannya menjadi 31.215 penumpang, dan realisasi 2024 hanya 14.000–16.000 penumpang. Perbedaan ini bukan sekadar kesalahan proyeksi, melainkan bukti lemahnya kalkulasi risiko.

Dengan beban bunga sekitar Rp 2 triliun per tahun dan pendapatan operasional 2024 hanya Rp 1,5 triliun, proyek ini defisit bahkan sebelum menutup biaya perawatan. Dalam logika ekonomi publik, Whoosh adalah proyek yang “berlari di atas utang.”

Ketika defisit muncul di proyek strategis, pertanyaan hukum menjadi tak terelakkan: dapatkah pemerintah menanggung defisit proyek yang awalnya diklaim bukan tanggungan negara? Jawabannya kembali pada asas klasik hukum tata negara: geen macht zonder verantwoordelijkheid—tidak ada kekuasaan tanpa pertanggungjawaban.


Skema jaminan pemerintah menempatkan BUMN Indonesia dalam posisi berisiko tinggi. PT Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC) adalah entitas dengan modal dan kredit yang dikendalikan dua negara. Maka klaim “tanpa jaminan negara” kehilangan bobot faktualnya.

Keterlibatan lembaga keuangan asal Tiongkok menambah kompleksitas hukum lintas negara. Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap menegaskan, jika ditemukan dugaan korupsi, pihak Tiongkok tidak dapat diperiksa langsung kecuali ada pemufakatan jahat. Artinya, ruang penegakan hukum menjadi sangat terbatas.


Kritik tajam pun datang dari parlemen. DPR RI menuntut pemerintah membuka rincian utang proyek—siapa kreditornya, berapa bunganya, dan bagaimana skema pembayarannya. Namun hingga kini, laporan utuh mengenai struktur keuangan Whoosh belum dipublikasikan.

Padahal, keterbukaan fiskal merupakan syarat good governance. Ketertutupan ini melanggar prinsip dasar akuntabilitas publik, terutama bagi proyek yang bersentuhan langsung dengan risiko fiskal negara.


Perbandingan dengan negara lain memperlihatkan inefisiensi mencolok. Arab Saudi membangun Land Bridge Project sepanjang 1.500 km dengan biaya sekitar US$ 7 miliar—hampir sama dengan biaya Whoosh yang hanya 142 km.

Menurut analis politik Ubedilah Badrun, proyek Whoosh telah mencatat kerugian sekitar Rp 4,1 triliun hanya dalam satu tahun operasi. “Proyek ini tidak efisien karena dibangun bukan berdasarkan kajian rasional, melainkan dorongan politis dan gengsi nasional,” ujarnya.

Begitupun,kegagalan Whoosh bukan semata kegagalan finansial, melainkan kegagalan sistemik dalam tata kelola pembangunan. Ia memperlihatkan bagaimana logika prestise mampu menundukkan logika hukum dan ekonomi.


Kekacauan regulasi juga terlihat dari diabaikannya Keppres Nomor 59 Tahun 1972 tentang kredit luar negeri, yang masih relevan dalam konteks pinjaman internasional. Ketika regulasi baru diterbitkan tanpa sinkronisasi, lahirlah ruang abu-abu hukum—tempat subur bagi praktik penyimpangan.

Due diligence semestinya menjadi pagar pertama terhadap semua risiko: memastikan verifikasi rencana, struktur pembiayaan, dampak sosial, hingga kemampuan bayar jangka panjang. Namun pagar itu seolah ditabrak oleh hasrat untuk segera menggunting pita.


Kita tidak menolak kecepatan. Tetapi kecepatan tanpa kehati-hatian adalah jebakan. Dalam hukum ekonomi publik, kesalahan proyeksi permintaan atau pembiayaan bukan hanya kesalahan teknis, melainkan kelalaian administratif yang bisa menimbulkan tanggung jawab hukum negara.

Oleh karena itu, BPK dan KPK harus menelusuri secara forensik: apakah proses persetujuan proyek, revisi regulasi, dan penggunaan dana publik sudah sesuai prosedur hukum, atau justru melampaui kewenangan. Sebab bila tidak, “prestasi nasional” bisa bergeser menjadi “skandal fiskal.”


Bangsa besar bukan diukur dari seberapa cepat membangun rel baja, melainkan dari keberanian menegakkan akal sehat dan tanggung jawab atas setiap keputusan publik. Pemerintah mesti menanggalkan romantisme proyek prestise dan kembali pada rasionalitas kebijakan: membuka struktur utang secara transparan, mengaudit secara publik, serta mengembalikan prudent governance sebagai fondasi moral ekonomi negara. Tanpa itu, Whoosh hanya akan menjadi monumen utang—megah di permukaan, rapuh di akuntabilitas.


Kini, beban bukan lagi soal defisit keuangan, tetapi defisit kepercayaan. Pemerintahan Prabowo harus menegaskan sikap: apakah ia hendak melanjutkan jejak manipulatif rezim sebelumnya, atau memulihkan kehormatan negara dengan tanggung jawab yang wajar dan terbuka. Sebab di balik proyek kebanggaan ini, tersimpan ujian kedaulatan fiskal dan integritas hukum. Dan ketika “pruden” kembali ditegakkan di atas “kecepatan,” barulah bangsa ini melaju di rel kemajuan yang sesungguhnya—dengan hukum sebagai penuntun, bukan korban dari hambisi politik beraroma korup.


Demikian.


Penulis merupakan Praktisi Hukum dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)