Oleh: Selwa Kumar (Penggiat Peradaban)
Pemilihan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) periode 2026–2031 telah bergeser jauh dari sekadar kontestasi akademik. Ia berubah menjadi panggung politik senyap, tempat berbagai kepentingan nasional saling bertemu dan beradu strategi. Di balik ruang senat dan rapat pleno MWA, ada gerak “operasi halus” yang kini disebut-sebut sebagai Operasi Toba (kode) — skenario politik untuk memastikan kendali Sumatera Utara menjelang Pilpres 2029.
Dalam dunia politik, siapa yang menguasai “suara kampus” sering kali juga menguasai arah opini publik. Maka, tidak mengherankan bila kampus besar seperti USU dijadikan ajang konsolidasi untuk konspirasi kekuasaan. Di dirangkai dengan gejolak secara lokal dan nasional untuk 'mendiskreditkan kelompok kartanegara' menuju 2029 - by disein, dari setiap titik suara — dari kampus hingga desa — dihitung dan dikendalikan. Konsolidasi yang disebut sebagai “penghapusan kelompok Kartanegara” dari peta kekuasaan nasional adalah sinyal kuat bahwa politik elektoral kini memasuki fase kontrol total.
Forum Penyelamat USU, dalam pertemuan dengan tim investigasi Inspektorat Jenderal Kemendiktisaintek, mengaku bukan pihak yang diperiksa, melainkan pihak yang ingin meluruskan kekacauan. “Kami bukan orang terperiksa seperti SA USU,” ujar salah satu anggota dengan nada ringan. Namun suasana “cair” itu segera berubah ketika nama-nama besar mulai disebut — dari Pejaten, Jagung, hingga petinggi Sumut.
Menurut catatan lapangan, Irjen Diktisaintek yang disebut memiliki “cyrcle Toba” dikabarkan dipindah tugas ke Bali pada 13 Oktober. Pemindahan itu diduga bukan kebetulan. “Ada tangan halus dari Kejagung (Kejaksaan Agung) yang ikut mengatur,” kata seorang sumber di internal tim penyelamat. Dengan begitu, kendali penyelidikan pasca-kunjungan ke USU menjadi lebih mudah diarahkan.
Sementara di Senat Akademik, suasana berbeda. Beberapa anggota dikabarkan “keder” ketika dimintai klarifikasi. Bagi mereka, pertemuan dengan tim Itjen terasa seperti pemeriksaan moral — antara kesetiaan akademik dan keberpihakan politik. Namun, semua kembali pada satu pusat kendali: 'Operasi Toba'.
Operasi ini disebut-sebut sebagai mesin politik yang dirancang khusus untuk Sumatera Utara. Dalam struktur informalnya, muncul nama MA sebagai figur pengendali lokal, dengan jejaring kuat yang menjangkau lembaga negara, kampus, hingga kelompok bisnis. “cyrcle Toba akan gunakan MA sebagai kunci di Sumut,” ujar seorang informan.
Forum Penyelamat USU mengaku telah menyerahkan bukti-bukti kepada Itjen Diktisaintek dan KPK. Termasuk di dalamnya, laporan mengenai aliran dana dari kasus korupsi Topan yang diduga mengalir untuk menyokong sukses pemilihan rektor. Di level komunikasi, jaringan Pejaten disebut aktif memantau dinamika lapangan, bahkan menugaskan seseorang dari lingkar istana untuk mengawal prosesnya.
Keterlibatan Pejaten makin terasa ketika pleno MWA yang dijadwalkan memilih rektor pada 2 Oktober mendadak dibatalkan. Penundaan itu, menurut sumber yang sama, terjadi “atas rekomendasi langsung dari Pejaten”. Menteri Diktisaintek pun disebut melawan tekanan dari Ketua MWA (Parcok) untuk segera mencabut surat penundaan.
Rekomendasi dari Pejaten juga disebut secara eksplisit: “MA not recommended.” Ini menjadi titik balik bahwa urusan rektor bukan lagi persoalan akademik semata. Ia sudah masuk ranah politik tingkat tinggi, menyentuh jantung pertarungan antara dua kekuatan besar: bandit tua dan cowboy muda — metafora yang kini populer di kalangan elite.
Pertanyaannya, apakah MA masih akan terpilih? Atau justru menjadi simbol tumbalnya politik kampus? Secara pribadi, banyak pihak mengaku tak punya masalah dengan MA. Namun, bila USU benar dijadikan instrumen politik untuk memuluskan ambisi Dinasti Solo di 2029, maka persoalannya telah bergeser menjadi urusan kenegaraan.
Kabar intelijen menyebut, pertemuan di kawasan Danau Toba — tepatnya di sekitar Bandara Silangit pada 17 Mei lalu — menjadi forum rahasia yang mempertemukan berbagai tokoh lintas lembaga. Nama-nama peserta dan foto-foto pertemuan itu konon sudah sampai ke tangan lembaga tertentu di Jakarta.
Bocornya Operasi Toba menandai babak baru. Jika benar skenario ini disusun untuk menguasai Sumatera Utara sebagai benteng politik menghadapi Prabowo pada Pilpres 2029, maka peta politik nasional bisa berubah total. Sebab, Sumut dengan lebih dari 10,8 juta pemilih, adalah medan tempur strategis keenam terbesar di Indonesia — setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, dan DKI Jakarta.
USU, dengan puluhan ribu civitas akademika dan jejaring alumni di birokrasi, hukum, dan bisnis, menjadi simpul kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Ia bukan sekadar universitas, melainkan poros sosial-politik yang mampu membentuk persepsi publik dan memengaruhi keputusan elite daerah.
Dalam konteks itu, pemilihan rektor tidak lagi berdiri sendiri. Ia terhubung langsung dengan peta konsolidasi nasional. Siapa pun yang duduk di kursi rektor, ia akan menjadi jembatan politik, entah ke Pejaten, ke Toba, atau ke Kartanegara.
Karena itu, publik berhak menuntut transparansi penuh. Jika benar ada aliran dana, tekanan kekuasaan, atau intervensi politik dalam Pilrek USU, maka Menteri Dikti, KPK, dan bahkan Presiden sendiri harus turun tangan. Kampus bukanlah ladang operasi politik. Ia seharusnya menjadi taman nalar, bukan alat kuasa.
Kini, bola panas ada di tangan pusat. Apakah Operasi Toba akan terus dibiarkan bergerak senyap, atau justru menjadi titik balik bagi pemulihan integritas kampus? Sejarah akan mencatat: dari ruang senat di Medan, peta kekuasaan nasional 2029 mulai digambar. "Dalam kancah politik, niat jahat seringkali terbungkus rapi dalam retorika manis. Namun, kita tidak boleh terkecoh. Sejatinya, niat buruk itu sudah cukup menjadi alasan untuk diwaspadai, apalagi jika diikuti dengan tindakan konkret. Operasi politik yang sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok harus segera dipatahkan dengan sikap kritis dan cerdas dari masyarakat. Kita tidak boleh membiarkan politik menjadi ajang permainan kekuasaan yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, mari kita jadikan Pilrek USU sebagai momentum untuk memilih Rektor tanpa MA, dimana orang-orang yang memiliki integritas, demokratis dan visi-misi yang jelas untuk kemajuan bangsa, bukan sirkel kejahatan korupsi yang berkonspirasi dengan 'Dinasti Solo' pada Pilpres 2029."
Demikian
Penulis, Alumni Fakultas FIB USU Stambuk' 87 dan Anggota Forum Penyelamat USU (FP-USU)


Posting Komentar
0Komentar