Dalam sistem hukum agraria Indonesia, tanah adalah simbol kedaulatan negara dan sumber keadilan sosial. Namun, idealisme itu seolah lenyap di hadapan praktik manipulatif yang menjadikan hukum sekadar formalitas administratif. Kasus tumpang tindih lahan PTPN Regional 1 di Sumatera Utara adalah potret paling gamblang dari degradasi itu: Hak Guna Usaha (HGU) yang masih aktif justru ditimpa Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama pihak swasta, dan lebih ironis lagi—HGB tersebut kemudian diagunkan ke bank.
PTPN Regional 1, BUMN yang memegang mandat mengelola aset perkebunan negara di Sumatera Utara dan Aceh, kini berada di pusaran paradoks hukum. Sejumlah HGU yang masih berlaku sejak dekade 1970–1990-2000an diduga ditindih oleh HGB atas nama pengembang swasta, seperti Citraland. Padahal, secara hukum, tidak mungkin HGB diterbitkan di atas HGU yang belum berakhir, karena melanggar Pasal 4 dan 16 UUPA 1960. Setiap bidang tanah hanya boleh memiliki satu hak utama dalam satu waktu.
Lebih jauh, Pasal 34 PP No. 40 Tahun 1996 menegaskan bahwa penerbitan hak baru atas tanah negara hanya dapat dilakukan setelah hak sebelumnya dilepaskan. Artinya, selama HGU belum dikembalikan kepada negara, penerbitan HGB adalah batal demi hukum (null and void). Ketika ketentuan ini diabaikan, maka yang terjadi bukan lagi kesalahan administratif, melainkan penyimpangan kewenangan (detournement de pouvoir) — pelanggaran langsung terhadap asas legalitas agraria.
Penerbitan HGB di atas tanah HGU aktif bukanlah sekadar maladministrasi, tetapi indikasi kejahatan hukum pertanahan. Bila dilakukan dengan kesengajaan untuk menguntungkan pihak tertentu, maka perbuatan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001. Kerugian terhadap kekayaan negara akibat hilangnya aset BUMN termasuk dalam kategori merugikan keuangan negara.
Lebih berat lagi bila ditemukan rekayasa dokumen, pemalsuan koordinat, atau manipulasi tanda tangan dalam proses penerbitan sertifikat. Maka, Pasal 263 dan 266 KUHP dapat diterapkan dengan ancaman pidana penjara hingga enam tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa kasus PTPN bukan semata urusan administrasi tanah, tetapi rantai mafia pertanahan yang terorganisir dan merusak sendi hukum agraria.
Fenomena ini juga menyingkap kelemahan mendasar di tubuh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Secara teori, tumpang tindih sertifikat mustahil terjadi bila sistem pendaftaran tanah berjalan sesuai PP No. 24 Tahun 1997 yang mewajibkan pemeriksaan yuridis dan fisik secara menyeluruh. Namun, lemahnya integrasi data, celah verifikasi, serta potensi manipulasi spasial membuat hukum agraria kehilangan daya kendalinya. BPN, lembaga yang seharusnya menjamin kepastian hukum, justru tampak menjadi bagian dari masalah.
Sisi lain yang tak kalah penting adalah peran perbankan. Dalam kasus Citraland dan PTPN, HGB yang cacat hukum ternyata diagunkan ke bank untuk kredit bernilai besar. Padahal, Pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengatur bahwa setiap kredit harus melalui penilaian kehati-hatian terhadap keabsahan agunan. Bank yang menerima HGB di atas HGU aktif berarti telah mengabaikan prinsip prudential banking dan know your collateral.
Bahkan, Pasal 18 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan menyebut bahwa hak tanggungan gugur apabila hak atas tanah yang dijaminkan batal demi hukum. Maka, kredit yang bersumber dari HGB ilegal otomatis kehilangan dasar yuridisnya.
Mahkamah Agung melalui Putusan No. 3214 K/Pdt/2004 menegaskan bahwa sertifikat tanah yang cacat administratif tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, segala turunan haknya, termasuk hak tanggungan bank, harus dianggap tidak sah. Yurisprudensi ini mempertegas prinsip lex certa: kepastian hukum tidak dapat dikorbankan demi kepentingan ekonomi.
Perlu diingat, tanah HGU PTPN adalah aset negara yang dipisahkan dan tunduk pada prinsip akuntabilitas publik sebagaimana diatur dalam PP No. 72 Tahun 2016. Setiap pengalihan, penghapusan, atau jaminan aset harus mendapat persetujuan Menteri BUMN. Maka, penerbitan HGB tanpa mekanisme tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum perbendaharaan negara dan dapat berimplikasi pada pertanggungjawaban pidana maupun administratif.
Kasus ini membuka kembali wajah kelam birokrasi agraria: mafia tanah yang bekerja melalui jejaring kolusif antara pejabat pertanahan, notaris, dan pengusaha. Mereka memanipulasi data spasial, memalsukan dokumen, dan mengubah batas tanah negara untuk kepentingan bisnis. Presiden Prabowo Subianto dengan tegas menyebut mafia tanah sebagai musuh negara, sebab mereka merampas hak publik dan menggerogoti kedaulatan hukum bangsa. Selama sistem pertanahan belum sepenuhnya transparan, ruang bagi praktik ini tetap menganga.
Dalam konteks tata kelola publik, negara memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi aset BUMN sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Lembaga seperti BPK dan KPK berwenang menelusuri kerugian negara akibat penyimpangan semacam ini. Integrasi data spasial nasional antara Kementerian ATR/BPN, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan menjadi keharusan. Tanpa sinkronisasi, kebijakan one map policy hanya akan menjadi slogan tanpa kekuatan hukum substantif.
Kasus PTPN Regional 1 adalah cermin kegagalan negara menegakkan hukum agraria. Ketika administrasi tanah bisa dimanipulasi dengan permainan tanda tangan dan koordinat, maka hukum telah kehilangan martabatnya. Negara harus segera menata ulang sistem pertanahan, memperkuat digitalisasi berbasis transparansi, serta menindak tegas oknum birokrat dan pelaku ekonomi yang terlibat.
Sebab dalam kerangka rule of law, tanah bukan sekadar aset ekonomi. Ia adalah bagian dari kedaulatan bangsa yang wajib dijaga dengan integritas, akuntabilitas, transparansi, dan supremasi hukum. Bila negara membiarkan HGB tumbuh di atas HGU aktif tanpa sanksi tegas, maka kedaulatan agraria berubah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan secara melawan hukum atas nama administrasi. Dan di titik itulah, negara telah kehilangan kekuasaan serta kewenangnya di atas tanahnya sendiri.
Demikian.
Penulis: Adv. M. Taufik Umar Dani Harahap, SH
Praktisi Hukum


Posting Komentar
0Komentar