Oleh : Adv. M.Taufik Umar Dani Harahap,SH.
Hukum bukanlah menara gading yang berdiri sendiri di tengah masyarakat. Ia adalah bagian integral dari konstruksi sosial—dibangun, dibentuk, dan dihidupkan oleh interaksi manusia. Seperti kata Émile Durkheim, hukum adalah cermin solidaritas sosial. Ia memantulkan wajah masyarakat: kadang tegas dan terang, kadang buram dan penuh luka.
Ketika hukum dibaca hanya sebagai teks, maka yang tampak hanyalah tubuh tanpa nyawa. Tetapi ketika ia dipahami sebagai pengalaman sosial, sebagai ruang perjuangan antara nilai, kekuasaan, dan moralitas—di sanalah hukum menemukan detak jantungnya. Inilah yang dimaksud Satjipto Rahardjo ketika menyebut bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Namun terlalu sering hukum kehilangan nadinya. Ia hidup, tapi tanpa rasa. Ia berjalan, tapi tanpa arah. Ia berbicara dengan bahasa formal, tapi tuli terhadap jeritan keadilan. Di ruang sidang, pasal-pasal beradu logika, tetapi kebenaran tergeletak tak terurus di lantai keadilan.
Aku menyaksikan sendiri bagaimana hukum bisa dibedah di meja operasi kekuasaan. Ditinggikan ketika menguntungkan, dikubur diam-diam ketika menyakitkan. Undang-undang berganti seperti pakaian, bergantung pada siapa yang sedang berkuasa. Hukum menjadi alat legitimasi, bukan alat emansipasi.
Itulah paradoks hukum modern: ia lahir dari janji rasionalitas, tetapi sering menjadi instrumen dominasi. Teori hukum kritis—dari Roberto Unger hingga Duncan Kennedy—menyebutnya sebagai indeterminacy: hukum yang tampak netral, padahal sarat kepentingan. Dalam praktiknya, setiap tafsir selalu berpihak, dan keberpihakan itu jarang pada yang lemah.
Hukum, dengan demikian, adalah arena. Ia tidak hanya mengatur, tetapi juga memperjuangkan. Di dalamnya, ada tarik-menarik antara moralitas publik, kepentingan ekonomi, dan kepentingan politik. Dan di situlah letak tugas kaum progresif: mengembalikan hukum pada misinya yang paling hakiki—menegakkan martabat manusia.
Aku pernah berdiri di ruang sidang, menyaksikan seorang saksi menangis bukan karena bersalah, tetapi karena tak didengar. Di situ aku belajar: hukum yang adil bukan hanya yang benar menurut logika, tetapi yang mampu mendengarkan dengan hati. Keadilan tidak hanya dibangun dengan pasal, tetapi juga dengan empati.
Hukum yang bernyawa lahir dari keberanian untuk menolak ketidakadilan, bahkan bila ketidakadilan itu dilegalkan oleh negara. Sebab, seperti dikatakan Mahatma Gandhi, ketika hukum menjadi alat penindasan, maka melanggarnya adalah kewajiban moral.
Hukum progresif mengajarkan bahwa perubahan sosial tidak mungkin dicapai tanpa keberanian menggugat kemapanan. Ia tidak menunggu perubahan datang dari atas, tetapi menggerakkannya dari bawah. Ia berpihak pada yang tertindas, bukan yang berkuasa. Ia mencari kebenaran substantif, bukan sekadar kepastian formal.
Karena itulah hukum selalu kontekstual. Ia tumbuh bersama masyarakat yang melahirkannya. Dalam masyarakat agraris, hukum berbicara tentang tanah; dalam masyarakat digital, ia bicara tentang data. Ketika nilai-nilai sosial bergeser, hukum pun harus menyesuaikan diri, atau ia akan ditinggalkan sejarah.
Namun perubahan hukum bukan sekadar teknis legislatif. Ia adalah hasil negosiasi, konflik, bahkan perlawanan. Setiap pasal adalah produk dari tarik menarik kepentingan. Di ruang itu, suara yang paling kuat sering menentukan arah hukum. Di sinilah bahaya laten kekuasaan bersembunyi.
Hukum bisa disusun oleh parlemen, tetapi hidupnya ditentukan oleh nurani masyarakat. Tanpa kesadaran moral, hukum hanyalah mesin. Ia bisa berjalan efisien, tetapi dingin. Ia bisa tampak adil, tetapi tanpa keadilan sejati. Dan di situ, kita menemukan apa yang disebut Satjipto sebagai hukum tanpa roh.
Aku pernah membaca surat keputusan rumah sakit yang menyingkirkan dokter karena ia terlalu berpihak pada pasien. Dalam kejadian itu, aku melihat bagaimana kekuasaan administratif menundukkan etik profesi. Hukum administrasi, yang seharusnya menjamin tata kelola, justru menjadi instrumen represi. Luka semacam itu adalah cermin dari hukum yang kehilangan ruh sosialnya.
Setiap luka hukum adalah peringatan bahwa sistem kita sedang sakit. Tetapi luka juga pertanda kehidupan. Ia mengingatkan bahwa hukum masih bisa disembuhkan—asal ada keberanian untuk menatap luka itu, bukan menutupinya dengan retorika legal-formal.
Aku belajar dari jalanan, dari ruang sidang, dari kampung nelayan dan rusun kumuh: hukum yang bernyawa adalah hukum yang bersentuhan dengan realitas. Ia hadir dalam advokasi kecil, dalam suara rakyat yang menuntut haknya, dalam tangan-tangan relawan yang memperjuangkan hidup yang layak.
Teori hukum progresif tidak lahir di laboratorium akademik, melainkan di medan sosial yang berdarah. Ia lahir dari kesadaran bahwa hukum harus bergerak bersama manusia, bukan mengaturnya dari menara gading. Seperti dikatakan Roscoe Pound, law is a tool of social engineering—alat untuk membentuk kehidupan bersama yang lebih manusiawi.
Tugas kita sebagai insan hukum bukan sekadar menafsir pasal, tetapi menghidupkan maknanya. Menyuntikkan nurani ke dalam teks, memberi rasa pada prosedur, dan menghadirkan keadilan di antara garis-garis tipis formalitas. Sebab keadilan, pada akhirnya, bukan diukur dari kata “putusan”, tetapi dari rasa “adil” yang dirasakan manusia.
Hukum yang bernyawa adalah hukum yang berani berdialog dengan luka. Ia tidak menutup-nutupi kegagalannya, tetapi mengakuinya sebagai bagian dari perjalanan menuju kebenaran. Ia tidak sempurna—dan justru di situlah kemanusiaannya.
Maka bila suatu hari aku ditanya apa yang kucari sepanjang hidup, jawabku sederhana: aku ingin hukum kembali bernyawa. Walau harus kuhidupkan dari luka yang tak sempurna. Sebab selama masih ada yang memperjuangkan keadilan, walau dengan darahnya sendiri—hukum tak akan pernah benar-benar mati.
Demikian
Penulis Praktisi Hukum dan Aktivis Gerakan Rakyat Banyak.
---
🟩 Catatan Reflektif:
“Hukum yang bernyawa” adalah ajakan untuk merebut kembali makna hukum dari tangan kekuasaan menuju pangkuan kemanusiaan. Bahwa pasal hanyalah cangkang, dan roh sejatinya adalah nurani sosial.


Posting Komentar
0Komentar