Oleh : Selwa Kumar
Di balik gemerlap prestasi akademik yang kerap dipamerkan Universitas Sumatera Utara (USU), tersimpan dua luka besar yang terus menganga: kenaikan tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang melambung tinggi dan pengelolaan aset kebun sawit seluas sekitar 10.000 hektare di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, yang hingga kini tak tersentuh transparansi publik. Ironisnya, lahan itu bukan sembarang aset. Ia merupakan pemberian Presiden B.J. Habibie melalui Menteri Kehutanan Muslimin Nasution pada akhir 1990-an, dalam kerangka program land grant college—sebuah kebijakan nasional untuk memperkuat kemandirian perguruan tinggi negeri dalam menjalankan Tri Dharma: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Namun, idealisme yang melatarbelakangi hibah itu seolah terkubur di bawah kebisuan laporan keuangan dan samar-nya tata kelola. Alih-alih menjadi sumber beasiswa dan riset unggulan, kebun sawit USU justru berubah menjadi simbol hilangnya akuntabilitas publik di tubuh kampus. Tidak ada audit terbuka, tidak ada laporan kontribusi aset terhadap pendidikan, bahkan status hukum dan kemitraan usaha yang melibatkan pihak swasta pun kabur. Di saat mahasiswa dipaksa menanggung beban UKT yang semakin berat, publik wajar bertanya: ke mana perginya semangat land grant yang dulu diamanatkan Habibie—dan untuk siapa sebenarnya kebun itu kini berbuah?
Pada tahun 2024, USU menetapkan kenaikan UKT hingga sekitar 200 %, mendorong ratusan mahasiswa melakukan demonstrasi di depan rektorat menuntut penjelasan. Mahasiswa menyoal golongan-UKT yang tidak transparan dan dinilai “mencekik”.
Secara resmi, USU menjelaskan bahwa penetapan UKT sudah mengacu pada Peraturan Menteri dan Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Namun di lapangan, mahasiswa mempertanyakan penerapan pengelompokan golongan dan transparansi internal.
Di sisi aset, kampus negeri ini memiliki lahan kebun sawit yang disebut‐sebut seluas ±10.000 hektare di Kabupaten Mandailing Natal yang seharusnya menjadi mesin pendanaan pendidikan, riset, beasiswa.
Namun catatan investigatif menunjukkan bahwa sejak sekitar 2012 hingga 2025, lahan tersebut tercatat dalam “kerugian” dan pengelolaannya terkesan terlepas dari kontrol kampus.
Lebih mengejutkan: pada tahun 2021, bank milik negara Bank Negara Indonesia (BNI) memberikan kredit senilai Rp 228 miliar menggunakan lima sertifikat HGU kebun sawit USU sebagai agunan — padahal pengelolaan dan laporan resmi aset oleh kampus dipertanyakan.
Model kemitraan antara Universitas Sumatera Utara (USU) melalui Koperasi Pengembangan USU (KP USU) dengan entitas swasta kembali menimbulkan tanda tanya besar. Berdasarkan dokumen dan temuan lapangan, komposisi saham yang terbentuk disebut sangat timpang—KP USU hanya memiliki 15 persen, sementara sisanya 85 persen dikuasai oleh pihak bernama Asian Agri Lestari. Skema ini jelas merugikan posisi kampus negeri yang semestinya menjadi pengelola utama aset negara. Namun teka-teki kian rumit ketika muncul bantahan resmi dari Asian Agri Group, korporasi sawit besar yang selama ini diduga berafiliasi dengan nama tersebut.
Kepada Tempo.co (18 September 2025), Head of Corporate Communication Asian Agri, Prama Yudha Amdan, menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah terlibat dalam pengelolaan kebun sawit USU, bahkan tidak mengenal entitas bernama Asian Agri Lestari maupun PT Sumatera Makmur Sentosa. “Kami tidak tahu apa itu Asian Agri Lestari. Itu bukan bagian dari kami,” tegasnya. Pernyataan ini bukan sekadar klarifikasi, tetapi membuka lapisan baru dalam misteri tata kelola aset USU—menyisakan pertanyaan krusial: siapa sebenarnya mitra bisnis KP USU di balik nama “Asian Agri Lestari”? Jika perusahaan itu tak tercatat resmi, mungkinkah yang sedang dihadapi publik adalah bentuk penyelundupan hukum dengan wajah korporasi fiktif? Sebuah potret kelam ketika aset pendidikan berubah menjadi arena permainan bayangan.
Dari perspektif akuntabilitas publik dan pengelolaan aset kampus negeri, situasi ini menganga sebagai krisis tata kelola: aset publik besar dikelola secara privat, tanpa laporan terbuka, tanpa mekanisme audit publik yang jelas.
Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Sumatera Utara (USU) seolah menjadi ironi ketika di sisi lain kampus ini memiliki aset perkebunan sawit seluas ribuan hektare yang tak pernah memberi kontribusi nyata bagi pendidikan. Mahasiswa membayar lebih mahal, sementara sumber daya ekonomi kampus justru “menghilang” dari radar transparansi publik. Pertanyaan fundamental pun muncul: untuk siapa sesungguhnya universitas ini dikelola—untuk rakyat yang membiayainya, atau untuk segelintir orang yang menikmati hasil di balik nama otonomi kampus?
Dalam opini publik yang berkembang, kebun sawit USU di Tabuyung, Mandailing Natal, mulai dipertanyakan arah kepemilikannya. Dugaan pun bermunculan: aset negara yang diperuntukan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi justru diduga beralih menjadi kepentingan pribadi sejumlah nama yang dikaitkan dengan Koperasi Pengembangan USU (KP USU). Nama-nama seperti tuan Darwin Dalimunthe dan Sukmono kerap disebut dalam diskursus publik, meski sudah dilaporkan oleh PP IKA USU pada Kejaksaan Agung dan Forum Penyelemat USU pada Kejaksaan Tinggi Sumut secara tertulis dan resmi. Situasi ini kian buram setelah muncul indikasi bahwa aset tersebut telah dilego kepada perusahaan bernama Asian Agri Lestari, yang justru dibantah keras oleh Asian Agri Group. Maka, benang kusut antara koperasi, perusahaan bayangan, dan aset negara itu kini menuntut satu hal yang paling mendasar: audit menyeluruh dan keterbukaan publik. Tanpa itu, kampus akan kehilangan makna moralnya sebagai benteng pengetahuan dan kejujuran.
Pengelolaan UKT yang dinaikkan tinggi membutuhkan legitimasi yang tak hanya administratif, tetapi juga moral: mahasiswa dan orang tua harus dapat memahami basis penghitungan, alokasi, serta penggunaan dana. Kejelasan tersebut sejauh ini lemah.
Sementara itu, aset kebun sawit yang berpotensi menjadi “kas universitas” malah berbalik menjadi beban karena laporan kerugian panjang, penggunaan sebagai agunan, dan minimnya kontribusi terhadap kampus maupun publik.
Dalam ruang hukum, pengalihan atau penggunaan aset perguruan tinggi negeri berupa tanah negara harus tunduk pada regulasi seperti UU 17/2003 Tentang Keuangan Negara, UU 12/2012 Tentang Pendidikan Tinggi, dan aturan pertanahan. Bila terbukti pemindahtanganan atau agunan tanpa persetujuan, maka bisa muncul kerugian negara yang harus ditanggung publik.
Audit investigatif yang independen mutlak diperlukan: mengecek dokumen legalitas HGU, aliran dana kredit Rp 228 miliar, kontribusi kampus dari hasil kebun, serta keterbukaan laporan keuangan kampus terkait aset‐usaha.
Tanpa upaya transparansi ini, sekaligus tanpa revisi sistem pengelolaan UKT dan aset kampus, maka dualisme beban mahasiswa dan keuntungan swasta di atas tanah publik akan terus berlanjut — merusak kepercayaan publik pada institusi pendidikan tinggi negeri.
Rektor dan pengurus kampus memiliki tanggung jawab strategis: bukan hanya menjaga akreditasi atau rangking, tetapi memastikan bahwa aset publik tidak jadi “ladang spekulasi” dan mahasiswa tidak jadi “korban beban biaya” karena tata kelola internal yang lemah.
Kementerian terkait — seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, dan Komisi Pemberantasan Korupsi — juga tidak boleh berdiam diri. Institusi pendidikan negeri adalah amanah konstitusi dan publik. Kampus harus diaudit, tidak boleh berlindung di balik jargon otonomi kampus.
Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya tetap sama: apakah mahasiswa yang membayar UKT mahal dan orang tua yang berharap anaknya sukses menempuh pendidikan layak menanggung beban setinggi itu, sementara kampus memiliki aset ribuan hektare yang tak pernah dilaporkan secara terbuka? Transparansi adalah kunci moral dari keadilan akademik. Ketika satu aspek itu hilang, seluruh bangunan kepercayaan publik runtuh. Sebab, pendidikan yang dibiayai rakyat tak boleh berjalan di atas fondasi kabut gelap pengelolaan aset publik.
Rekomendasi Tim Investigasi Majelis Wali Amanat (MWA) masa kepemimpinan Ibu Kartini Panjaitan telah tepat ketika menyarankan agar dugaan pelepasan dan pengalihan aset kebun sawit USU diproses secara pidana. Hal ini karena ada indikasi kuat bahwa lahan kebun sawit USU di Desa Tabuyung tersebut yang merupakan milik publik telah dikelola tanpa transparan, akuntabilitas dan berpotensi merugikan negara. Langkah selanjutnya yang mendesak ialah Satgas Pengelolaan Kekayaan Negara (PKH) mengambil alih dan mengembalikan aset tersebut kepada negara, agar hasilnya benar-benar kembali untuk kepentingan pendidikan. Dengan begitu, kebun sawit USU tak lagi menjadi simbol gelap bisnis tersembunyi, tetapi kembali pada tujuan awalnya: mendanai masa depan mahasiswa, bukan memperkaya segelintir orang dengan melawan hukum.
Demikian.
Penulis Alumni Fakultas FIB USU Stambuk' 87 dan Anggota Forum Penyelamat USU di Jakarta


Posting Komentar
0Komentar